Namaku Dini, mahasiswi rantau dari keluarga sederhana. Dengan berbekal impian dan semangat untuk  membahagiakan kedua orangtuaku yang telah renta, aku bertekad untuk kuliah di rantau, jauh dari tanah kelahiranku. Aku sangat tau, pengorbanan kedua orang tuaku yang mengantarkan aku ke kota ini untuk menuntut ilmu, merangkai secercah harapan. Orang tuaku yang bekerja sebagai guru di desa kecil tanah kelahiranku rela menggadaikan sebagian besar gaji mereka untuk membiayai kuliah dan kehidupanku di sini. Uang bulanan sekadar pas untuk maka. Meskipun begitu aku selalu yakin bahwa Allah Maha Kaya dan Maha Baik, mana mungkin membiarkan hamba-Nya kelaparan.
Di tahun pertama kuliah, aku dan teman-teman seangkatanku wajib tinggal di asrama. Bagi sebagian mereka, mungkin asrama adalah tempat bagai penjara,  harus berbagi kamar, kamar mandi, dan semuanya. Ada jam malam dan aturan-aturan yang sangat membatasi ruang gerak mereka. Tapi bagiku, asrama adalah guru kehidupan. Di tempat inilah aku belajar arti kehidupan yang sesungguhnya. Arti berbagi dan peduli terhadap sesama. Mengajarkanku bahwa hidup harus memberi dan menerima.
Di sini aku punya seorang teman, namanya Hima. Dia adalah gadis cerdas. Dengan bantuan beasiswa dia bisa kuliah dan hidup di sini. Dia punya cerita masa lalu yang sangat menakjubkan. Dua tahun yang lalu, dia dinyatakan sembuh total dari kanker otak stadium 3 tanpa operasi apa pun. Kanker ini sempat menggerogoti syaraf penglihatannya sehingga satu matanya tidak berfungsi. Ini mukjizat menurutku. Hima adalah gadis luar biasa. Dia sangat cerdas, tanpa belajar tiap malam pun nilainya sudah bagus. Pengetahuan agamanya pun cukup luas. Dia lulusan dari pesantren terkenal di Jawa Timur. Mengenalnya semakin membuatku mendekatkankan diri kepada-Nya.
Suatu hari Hima mengaku kepalanya sering sakit. Hal itu membuatku merasa takut. Akhirnya kusarankan dia untuk periksa ke rumah sakit. Dan ternyata menurut dokter, kanker yang kira-kira hampir dua tahun lalu yang telah menngerogotinya ternyata tumbuh lagi. Layaknya tunas baru, dia kembali tumbuh di kepala Hima. Beberapa hari setelah itu, ketika baru pulang kuliah, kudapati Hima sedang digotong teman-teman untuk dibawa ke rumah sakit. Hm, kasihan sekali. Di sepanjang perjalanan dia terus mengerang kesakitan.
Sesampainya di rumah sakit, Hima langsung dibawa ke IGD. Beberapa saat kemudian dia dipindah ke ruang perawatan. Empat hari Hima dirawat di rumah sakit dan akhirnya diperbolehkan pulang. Setelah itu dia harus kontrol ke dokter setiap dua hari sekali. Sampai suatu hari dia terlihat begitu pucat dan lemas. Setelah kutanya ternyata dia belum makan. Setelah kudesak akhirnya dia mau bercerita. Ternyata uang beasiswanya belum keluar bulan ini. Dia sama sekali tidak memegang sepeser pun uang. Aku pun agak memarahinya karna dia tidak bilang dari kemarin sampai harus tidak makan seperti ini. Kupaksa dia menerima pinjaman uang dariku. Tapi dia hanya menerima 100 ribu padahal setahuku dia harus kontrol ke dokter besok pagi. Hima memang orang yang tidak mau merepotkan orang lain. Dia menolak tawaran uang dariku dengan senyum khasnya. Duh Hima, di tengah sakit dan keterbatasanmu, kamu masih saja bisa tersenyum seperti itu. Hima memang tidak pernah mengeluh ke teman-teman, bahkan dia terkesan menutupi sakitnya. Dia slalu meyakinkan ke teman-teman bahwa dia baik-baik saja.
Kutanya lagi tentang keadaannya. Dia pun cerita kalau disarankan dokter untuk operasi.Lalu sambil berkaca-kaca dia bilang belum memberitahu orang tuanya tentang hal ini. Aku pun meyakinkannya untuk memberitahu orang tuanya agar ditemukan jalan yang terbaik. Oh Hima, semoga benar-benar ada jalan terbaik untukmu.
Ya Allah, lega rasanya bisa membantu Hima saat dia sedang dalam masa sulit seperti ini. Dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Bukan hanya dia, tapi semua teman asramaku sudah kuanggap saudara sendiri. Rasanya  aku benar-benar ikhlas melakukannya. Karna aku tau, Engkau lah yang akan membalasnya. Betapa bahagianya aku bisa membantunya, walaupun dengan uang yang tidak begitu banyak jumlahnya. Bagiku, jika aku ingin orang lain peduli padaku, maka aku harus peduli dulu terhadap orang lain. Karna masih ada yang lebih kaya atas segalanya dan Maha Pengasih yang akan membalasnya suatu saat nanti.
Keesokan harinya, Hima kontrol ke dokter ditemani teman SMAnya. Kadang-kadang jika tiba jam makan ketika anak-anak asrama berduyun-duyun ke warung beli makan, dia tetap diam di kamar. Aku pun membelikan Hima makan karna mungkin hanya aku yang tau kondisi keuangan Hima. Awalnya dia menolak, namun setelah sedikit kupaksa akhirnya dia mau juga. Hari-hari berikutnya aku pun slalu membelikan dia makan. Karna sudah terbiasa, dia tidak menolak lagi. Senangnya hatiku bisa membantunya. Meskipun hanya dengan makanan sederhana yang murah setidaknya aku tidak melihat teman baikku kelaparan.
Waktu pun berlalu. Hari berganti hari. Ternyata ada teman Hima yang memberi tau bahwa daun sirsak bisa membunuh sel kanker. Lalu secara rutin Hima mengkonsumsi air rebusan daun sirsak. Baru beberapa hari minum kepalnya sudah terasa agak enakan katanya. Betapa bahagianya hatiku. Dan dia pun tidak jadi operasi karna berangsur-angsur sudah baikan.
Aku yakin bahwa jika kita peduli dan mau berbagi dengan orang lain maka Allah akan membalasnya.Meski entah itu kapan, tapi itu pasti. Dan inilah yang terjadi padaku. Saat tiba waktunya pembayaran spp ternyata uang di tabunganku kurang. Aku benar-benar bingung saat itu. Di tengah keterbatasanku saat ini, rasanya tidak mungkin kalau aku harus meminta kiriman ke orang tuaku. Aku tau betul kondisi keuangan orang tuaku saat itu. Aku pun yakin pasti ada jalan keluarnya meskipun aku belum tau itu apa. Dan ketika sehari sebelum waktu pembayaran ditutup, ada sahabat yang berbaik hati memberiku pinjaman uang untuk memenuhi biaya spp. Aku yakin ini balasan dari Allah jika kita mau berbagi dan peduli dengan orang lain. Karna begitu indah rasanya jika kita mau berbagi.