Mendung
menyelimuti kota Bogor sore ini. Ku langkahkan kaki menyusuri jalanan pasar
menuju stasiun Bogor. Gerimis pun perlahan turun membasahi bumi yang dari
kemarin memang sudah basah karena hampir setiap hari diguyur hujan. Bogor
memang benar-benar kota hujan. Akhirnya sampai juga di loket, ku beli 1 tiket
krl AC-Ekonomi. Lima menit kemudian krl pun berangkat. Sepertinya hari ini aku
cukup beruntung karna krl langsung berangkat dan aku tak perlu menunggu lama.
Meski hari ini sebenarnya aku malas pulang ke Jakarta, tapi karna sudah suntuk
dengan tugas kuliah yang tidak ada habisnya, sepertinya aku butuh refreshing
sejenak. Dan kuputuskan ke Jakarta sekalian menjenguk tante yang sendirian di
rumahnya.
Di kereta aku bersebelahan dengan
nenek renta yang usianya sekitar 65 tahun-an mungkin. Ku lemparkan senyum dan
menanyakan stasiun tujuan nenek tersebut. Bukan hanya menjawab pertanyaanku
saja, nenek menanyakan namaku dan juga
bercerita tentang dirinya. Mbah Soimah namanya, asalnya dari Jawa dan sekarang tinggal di Bekasi.
Mbah Soimah baru pulang kerja dari Jakarta sebagai tukang cuci. Mbah Soimah
setiap hari harus pulang-pergi Jakarta-Bekasi. Sebenarnya, tadinya Mbah Soimah
ingin naik kereta ekonomi karena sehari-hari Beliau memang naik kereta ekonomi.
Tapi karna kereta ekonomi terakhir dibatalkan, akhirnya Mbah Soimah terpaksa
naik kereta AC-Ekonomi.
Di
usianya yang renta Mbah Soimah menanggung hidup ketiga cucunya yang
seorang masih duduk di kelas 1 SD dan 2
anak masih balita umur 3 tahun. Ketiga cucunya ditinggal mati kedua orangtua
mereka 2 tahun yang lalu karena sakit yang diderita. Sejak saat itu Mbah Soimah
lah yang merawat mereka. Penghasilan Mbah Soimah yang hanya sebagai tukang cuci
sebesar Rp 10.000,00 per haari. Itu pun harus dipotong ongkos jalan dari Bekasi
ke Jakarta pulang-pergi.
“
Mbah itu bingung nak, gara-gara krl ekonomi dibatalkan, terpakasa Mbah naik
ini. Padahal harga krl ini Rp 5.500,00. Belum ongkos minibus dari stasiun ke
rumah. Kayaknya hari ini cucu Mbah makan bubur ajar soalnya uangnya gak cukup
buat beli beras 1 liter”, kata Mbah Soimah.
Hatiku
menangis mendengar itu semua. Ya Allah, betapa berat beban nenek ini di saat
usianya sudah renta. Harus menanggung hidup ketiga cucunya. Ku pandangi wajah
Mbah yang penuh dengan guratan perjuangan. Beberapa kali Mbah terlihat
kedinginan karna tidak terbiasa dengan udara AC. Ku usap air mata yang jatuh
sesaat setelah memandangi nenek renta ini. Ku intip isi dompetku. Hanya ada
uang Rp 12.000,00. Ya Allah, andai saya punya uang lebih banyak, pasti akan
langsung saya kasih ke nenek ini untuk meringankan beban hidupnya. Ku pandangi
sekali lagi, semakin aku merasa menyesal karna kemarin-kemarin tidak menyisakan
uang lebih banyak lagi. Akhirnya ku putuskan untuk memberikan uang Rp 10.000,00
nanti sesaat sebelum turun. Rp 2000,00 ku sisakan untuk naik metromini dari
stasiun menuju rumah.
Lamunanku
dikagetkan oleh suara Mbah yang kembali menceritakan cucunya.
“
Cucu Mbah itu udah banyak yang mau mengadopsi Nak, tapi cucu Mbah yang gak mau.
Mereka pengin ikut Mbah aja katanya. Mereka itu penurut banget dan gak rewel.
Kadang di pagi hari sebelum berangkat kerja Mbah hanya masak nasi sama tempe
goreng. Tapi jika ditanya tetangga, cucu Mbah slalu bilang makan sama daging.
Hanya cucu Mbah yang memberikan semangat Mbah untuk terus bekerja,
memeperjuangkan hidup mereka”, cerita Mbah sambil berkaca-kaca.
Aku
trenyuh mendengar itu semua. Di saat banyak oknum yang korupsi uang rakyat
ternyata masih ada rakyat yang masih susah membeli beras dan berjuang keras
untuk mempertahankan hidup di kala usianya renta. Aku pun bertanya kenapa Mbah Soimah
gak bekerja di tempat yang dekat saja sehingga tidak menghabiskan uang
transport. Tapi kata Mbah, tidak ada yang mau menggaji harian seperti
majikannya yang sekarang ini.
Ternyata
banyak ibu-ibu di kereta yang menyimak perbincanganku dengan Mbah Soimah.
Sepertinya mereka ikut trenyuh sepertiku saat Mbah Ssoimah bercerita. Mungkin
hanya orang-orang yang gak punya hati yang sama sekali tidak trenyuh saat
mendengar cerita Mbah Soimah. Akhirnya ibu-ibu itu menyantuni Mbah Soimah
dengan beberpa lembar uang kertas. Alhamduliah, aku berteriak lega di dalam
hati. Meskipun aku tidak bawa cukup uang setidaknya Mbah Soimah dapat uang dari
beberapa ibu-ibu di sini.
Kupandangi
lagi wajah Mbah Soimah. Terlihat jelas gurat-gurat perjuangan di wajahnya. Ku
renungi kehidupanku selama ini. Kadang aku membelanjakan uang saku seenaknya
dengan membelikan barang-barang yang kurag bermanfaat. Atau jika ada tugas sedikit
menumpuk saja, aku sudah mangeluh. Tapi lihat ini di depanku, seorang nenek
yang telah renta, ototnya tak sekuat dulu, harus menghidupi ketiga cucunya
dengan menjadi tukang cuci yang harus bolak balik Bekasi-Jakarta setiap hari.
Beban tugasku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan beban hidupnya.
Kereta
melaju menembus gerimis di sore itu. Stasiun tujuanku semakin dekat. Ku ambil
uang di dompetku dan kuletakkan di tangan Mbah Soimah.
“Ini
Mbah uang seadanya buat beli beras, semoga bermanfaat ya Mbah”, kataku sambil
tersenyum.
“Iya,
makasih ya Neng, ini rejeki cucu Mbah pasti”, kata Mbah sambil berkaca-kaca.
Kereta
pun berhenti di stasiun tujuanku. Ku langkahkan kaki yang terasa sangat ringan
keluar. Kulihat tangan Mbah Soimah masih melambai dan tersenyum kepadaku. Hm,
begitu lega rasanya bisa membantu Mbah Soimah meskipun hanya dengan uang yang
jumlahnya tak seberapa. Begitu indah rasanya berbagi. Begitu dahsyat
menentramkan hati. Ku lihat tante ku melambaikan tangan ke arahku. Wah,
ternyata aku dijemput dan tidak perlu naik metromini. Hm, ini pasti balasan
dari Allah, jalanku pulang ke rumah dimudahkan. Balasan karna kita telah peduli
dan mau berbagi dengan sesama. Terima kasih ya Allah. Kulambaikan tangan dan ku
hampiri tante yang sepertinya sudah menunggu dari tadi.